Tidak ada pilihan dalam menghadapi globalisasi kecuali terus menghadapinya, namun hendaknya dengan persiapan diri yang cukup melalui pembenahan masalah krusial yang ada di tengah masyarakat seperti masalah kemiskinan dan kebencanaan demi memenuhi prasyarat pembentukan keserasian sosial (modal sosial) serta meningkatkan etos dan kualitas SDM bangsa ini.
Andi Hanindito adalah salah seorang direktur yang menjadi andalan Departemen Sosial Republik Indonesia dalam membangkitkan kemandirian anak bangsa dalam membangun dan menolong dirinya sendiri bila mengalami bencana sosial. Pria 45 tahun bertubuh tinggi tegap dengan rambut potongan tentara ini kelahiran Banyumas, 13 Pebruari 1963 mempunyai suara bariton dan suka menggerak-gerakkan tangannya selagi bicara (kebiasaan ala Pria Perancis) mempunyai dua putri Artha Paramita Prima Ardiyanti (18) dan Claresta Octavia Artanti (9) dari perempuan yang dinikahi bernama Ratna Dewi Damayanti.
Direktur termuda di Departemen Sosial Republik Indonesia satu ini dikenal dekat dengan wartawan dan tercatat sebagai pejabat negara pertama yang tiba pada sore hari saat bencana Tsunami di NAD pada Desember 2004 lalu. Melalui pesan Radio yang dipancarkan ke Jakarta, maka bencana tsunami yang menelan korban ratusan ribu orang itu dapat segera diketahui oleh Presiden RI dan seluruh dunia. Berikut wawancara dengan Direktur Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial Andi Hanindito di ruang kerjanya, Kamis (9/10) :
Tanya: Apa yang mendasari kelahiran Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial (BSKBS)?
Andi H: Sebelum menjawab pertanyaan anda, maka terlebih dahulu saya jabarkan tentang makna globalisasi.Tentang globalisasi menurut seorang pakar dan praktisi ketahanan nasional ibarat sebatang pohon dengan 3 ranting utama. Pertama, di bidang ekonomi berupa liberalisasi ekonomi dengan terus mendorong terwujudnya pasar bebas. Kedua, di bidang informasi berupaya mendorong keterbukaan dan kebebasan informasi melalui pembaruan media-media informasi. Dan ketiga, di bidang politik melalui promosi dan diseminasi budaya demokrasi.
Ketiga bidang di atas kini telah menampakkan buah keberhasilannya dan secara nyata diperlihatkan oleh para calon Presiden Amerika Serikat yang menyatakan secara masif dikampanyekan negara-negara maju demi menaklukan negara-negara ketiga. Secara nyata tesis ini dipakai untuk mempromosikan free trade di berbagai belahan dunia.
Banyak Lembaga multilateral dibentuk para koalisi negara adidaya sebagai pengusung liberalisasi membungkus melalui kedok pembangunan ekonomi, HAM, kesehatan dan lainnya. Semua ini demi melestarikan hegemoni atas negara lain. Sebut saja,IMF, World Bank di bidang ekonomi. WHO di bidang kesehatan. Semua ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Menkes RI Siti Fadilah Supari yang mengatakan, “tidak ada penjajahan saat ini , kecuali penjajahan dalam bentuk ekonomi” yang dilakukan oleh negara adidaya terhadap Negara berkembang.
Hakekat globalisasi adalah kompetisi tanpa batas antara negara dan antar individu. Adalahj fakta tak terbantahkan, hari ini betapa bangsa-bangsa dunia ketiga yang telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional yang terkait langsung dengan pasar bebas menjadi lahan perang ekonomi negara adidaya tersebut.
Tanya: Lalu apa pengaruhnya terhadap Indonesia?
Andi H: Di tanah air globalisasi mengakibatkan 3 efek penting: pertama, Globalisasi melahirkan wajah baru kolonialisasi pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lintas teritorial (propinsi dan kabupaten/kota) berbasis kekuasaan informasi di Indonesia.
Kedua, Pola produktivitas pengeloalan sumber daya alam dan ekonomi mengedepankan buka prinsip survival of the symbiotic, tetapi survival of the fittest yang pada akhirnya memarginalkan masyarakat lokal. Ketiga, warisan wilayah bekas kolonialisasi ekonomi global menjadi kawasan miskin dan marginal, kehancuran ekosistem, konflik kekerasan, pelanggaran HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan.
Posisi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dengan kekayaan alam yang sangat banyak namun masih banyak pula rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan menyangkut pula ketahanan nasional. Tidak ada pilihan dalam menghadapi globalisasi kecuali terus menghadapinya, namun hendaknya dengan persiapan diri yang cukup melalui pembenahan masalah krusial yang ada di tengah masyarakat seperti masalah kemiskinan dan kebencanaan demi memenuhi prasyarat pembentukan keserasian sosial (modal sosial) serta meningkatkan etos dan kualitas SDM bangsa ini.
Tanya: Jadi apa yang perlu diperhatikan?
Andi Hanindito:Yang perlu diperhatikan adalah, pertama,masalah kemiskinan. Kita tahu, masalah kemiskinan ditandai dengan kekurangan materi , kelangkaan barang dan jasa, serta gangguan kebtuhan dan disintegrasi sosial. Saat ini, akar kemiskinan sudah tidak memadai lagi dilihat dari sisi individual tetapi juga harus dilihat dari ketidakadilan struktural. Jika dikaitkan dengan kemiskinan yang tumbuh dan membiak sebagai akibat bencana alam dan bencana sosial.
Perlu kita ketahui bersama, di tanah air, angka kemiskinan mencapai ratusan juta orang. Untuk itulah pemerintah mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Program Keluarga Harapan dan berbagai program lainnya yang bertujuan memutus akar kemiskinan yang melilit puluhan juta anak bangsa ini. Kedua, masalah kebencanaan. Indonesia sebagai wilayah rawan bencana diperlukan manajemen kebencanaan berbasis masyarakat agar dampak bencana bencana yang terjadi dapat dieleminir dan tidak menambah daftar panjang persoalan sosial bagi yang mengalaminya.
Di sini diperlukan sinergi produktif antara elemen bangsa sebagai stake holder untuk membenahi manajemen kebencanaan dengan berbagai cara, antara lain penerapan konsep pelayanan satu atap dalam melaksanakan pelayanan sosial yang mencakup aspek teknis manajemen, aspek bencana sosial dan keserasian sosial serta korelasi di antara keduanya. Untuk itulah dikembangkan program Keserasian Sosial Berbasis Komunitas (KSBK) secara terencana dan berkesinambungan.
Tanya: Mencakup apa saja semua?
Andi Hanindito: Ada lima cakupan kehancuran sumberdaya komunitas bila tidak serius ditangani. Pertama, destruksi kapasitas manusia (komunitas). Berbagai peristiwa peristiwa bencana alam dan sosial menyebabkan komuitas lokal kehilangan “kapasitasnya selaku manusia dan selaku rakyat lokal”(human capacity dan capacity of the people). Kapasitas manusia/komunitas/rakyat(social capital) tersebut berupa kondisi sumberdaya kesehatan fisik dan mental /psikologis, pengetahuan dan keterampilan masyarakat serta keluarga dan kehidupan lokal dan sebagainya. Kedua, faktor ekologi sosial(social ecology).
Sebagai diketahui,dampak bencana selalu menimbulkan gangguan terhadap ekologi sosial dari komunitas; hubungan sosial antara keluarga; reintegrasi sosial dan hilangnya sumber -sumber dan basis ekonomi ; tantangan terhadap institusi agama dan budaya ; serta hubungan dengan otoritas sipil politik dan militer.
Ketiga , faktor peradaban (budaya dan nilasi). Peristiwa disaster mereduksi peradaban lokal (nilai dan budaya) dari komunitas/masyarakat, orientasi kemanusian berubah menjadi material, rasa peduli kekerasan /krisis, tantangan terhadap keadilan sosial dan hak asasi , perubahan nilai budaya, kepercayaan dan praktik. Keempat, faktor fisik dan tata ruang.
Peristiwa natural dan social disaster berakibat hancurnya kondisi fisik dan tata ruang wilayah dalam skala luas . Bisa dibayangkan andai seluruh infrastruktur wilayah hancur dalam skala luas ? Dimana batas-batas wilayah (desa, tanah keluarga, dsb) hilang. Bahkan wilayah desa hilang sama sekali (daratan dimasuki area laut), muncul persoalan hukum berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan kebutuhan untuk relokasi.
Pembangunan tata pemukiman dan perumahan tidak berbasis kultural dan spiritual lokal. Kelima, depresi dan trauma psikososial.Destruksi dari keempat faktor tersebut di atas (kapasitas manusia, ekologi sosial, nilai dan budaya serta fisik–tata ruang) sangat mempengaruhi kondisi psikososial komunitas.
Kondisi psikososial tidak dapat dilihat akan menjadi cepat atau lama dipulihkan dan disembuhkan tergantung apakah pendekatan elemen-elemen masyarakat dan elemen negara bekerja secara holistik atau parsial. Fungsi sosial elemen masyarakat dan elemen negara secara konsekuen berakar pada kekuatan spiritualitas serta kearifan budaya dan agama masyarakat secara kekuatan trauma healing process.
Tanya: Bila begitu betapa penting bantuan sosial bagi korban nencana sosial dikaitkan pada ketahanan sosial masyarakat?
Andi Hanindito: Ya, benar. Keserasian sosial akan berhasil sebagai basis ketahanan sosial andai kelima aspek kapasitas sumberdaya komunitas dikelola secara integral dan holistik. Depsos tidak akan melakukan intervensi dalam menangani bencana sosial, tetapi hanya mengarahkan, mengakomodasikan, mengakseskan setelah dirujuk kepada ahlinya, maka diharapkan masyarakat yang tertimpa bencana sosial dapat hidup wajar selama mengalami dan cepat pulih seperti sediakala.
Dengan cara itu maka konsep bencana dan keserasian sosial haruslah menjadi landasan untuk menguraikan paradigma keserasian sosial , yaitu: paradigma ini menggambarkan setidaknya alur strategik penanggulangan bencana yang meliputi: a)secara cepat, dan b)secara bertahap. Respons cepat bersifat emergensi dengan menekankan aspek proteksi sosial (social protection) dan secara bertahap bersifat proaktif ,sistematis dan berkelanjutan dengan menekankan aspek pemberdayaan dan kemandirian sosial (social empowerment) dari kerja keserasian sosial.
Direktur BSKBS Andi Hanindito menyadari, bahwa kapasitas masyarakat dalam menghadapi serta mengelola bencana sosial dan keserasian sosial secara proaktif dan mandiri merupakan basis ketahanan rakyat dan bangsa di tengah dinamika globalisasi dalam semangat ikatan sosial integrasi nasional masyarakat majemuk Indonesia.
Tujuan memperkuat modal sosial masyarakat sebagai kapasitas dalam mewujudkan keikatan (kohesitas), solidaritas, kesetiakawanan,kebersamaan, dan integrasi sosial dalam tatanan nasional bangsa yaitu meningkatnya kesadaran komunal tentang dampak bencana sosial dan pentinganya membangun kapasitas keserasian sosial sebagai basis ketahanan nasional bangsa. “Ini semua menjadi modal memenangkan persaingan global, “ tutup Andi Hanindito.
sumber: www.suaratokoh.com
Andi Hanindito adalah salah seorang direktur yang menjadi andalan Departemen Sosial Republik Indonesia dalam membangkitkan kemandirian anak bangsa dalam membangun dan menolong dirinya sendiri bila mengalami bencana sosial. Pria 45 tahun bertubuh tinggi tegap dengan rambut potongan tentara ini kelahiran Banyumas, 13 Pebruari 1963 mempunyai suara bariton dan suka menggerak-gerakkan tangannya selagi bicara (kebiasaan ala Pria Perancis) mempunyai dua putri Artha Paramita Prima Ardiyanti (18) dan Claresta Octavia Artanti (9) dari perempuan yang dinikahi bernama Ratna Dewi Damayanti.
Direktur termuda di Departemen Sosial Republik Indonesia satu ini dikenal dekat dengan wartawan dan tercatat sebagai pejabat negara pertama yang tiba pada sore hari saat bencana Tsunami di NAD pada Desember 2004 lalu. Melalui pesan Radio yang dipancarkan ke Jakarta, maka bencana tsunami yang menelan korban ratusan ribu orang itu dapat segera diketahui oleh Presiden RI dan seluruh dunia. Berikut wawancara dengan Direktur Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial Andi Hanindito di ruang kerjanya, Kamis (9/10) :
Tanya: Apa yang mendasari kelahiran Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial (BSKBS)?
Andi H: Sebelum menjawab pertanyaan anda, maka terlebih dahulu saya jabarkan tentang makna globalisasi.Tentang globalisasi menurut seorang pakar dan praktisi ketahanan nasional ibarat sebatang pohon dengan 3 ranting utama. Pertama, di bidang ekonomi berupa liberalisasi ekonomi dengan terus mendorong terwujudnya pasar bebas. Kedua, di bidang informasi berupaya mendorong keterbukaan dan kebebasan informasi melalui pembaruan media-media informasi. Dan ketiga, di bidang politik melalui promosi dan diseminasi budaya demokrasi.
Ketiga bidang di atas kini telah menampakkan buah keberhasilannya dan secara nyata diperlihatkan oleh para calon Presiden Amerika Serikat yang menyatakan secara masif dikampanyekan negara-negara maju demi menaklukan negara-negara ketiga. Secara nyata tesis ini dipakai untuk mempromosikan free trade di berbagai belahan dunia.
Banyak Lembaga multilateral dibentuk para koalisi negara adidaya sebagai pengusung liberalisasi membungkus melalui kedok pembangunan ekonomi, HAM, kesehatan dan lainnya. Semua ini demi melestarikan hegemoni atas negara lain. Sebut saja,IMF, World Bank di bidang ekonomi. WHO di bidang kesehatan. Semua ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Menkes RI Siti Fadilah Supari yang mengatakan, “tidak ada penjajahan saat ini , kecuali penjajahan dalam bentuk ekonomi” yang dilakukan oleh negara adidaya terhadap Negara berkembang.
Hakekat globalisasi adalah kompetisi tanpa batas antara negara dan antar individu. Adalahj fakta tak terbantahkan, hari ini betapa bangsa-bangsa dunia ketiga yang telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional yang terkait langsung dengan pasar bebas menjadi lahan perang ekonomi negara adidaya tersebut.
Tanya: Lalu apa pengaruhnya terhadap Indonesia?
Andi H: Di tanah air globalisasi mengakibatkan 3 efek penting: pertama, Globalisasi melahirkan wajah baru kolonialisasi pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lintas teritorial (propinsi dan kabupaten/kota) berbasis kekuasaan informasi di Indonesia.
Kedua, Pola produktivitas pengeloalan sumber daya alam dan ekonomi mengedepankan buka prinsip survival of the symbiotic, tetapi survival of the fittest yang pada akhirnya memarginalkan masyarakat lokal. Ketiga, warisan wilayah bekas kolonialisasi ekonomi global menjadi kawasan miskin dan marginal, kehancuran ekosistem, konflik kekerasan, pelanggaran HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan.
Posisi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dengan kekayaan alam yang sangat banyak namun masih banyak pula rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan menyangkut pula ketahanan nasional. Tidak ada pilihan dalam menghadapi globalisasi kecuali terus menghadapinya, namun hendaknya dengan persiapan diri yang cukup melalui pembenahan masalah krusial yang ada di tengah masyarakat seperti masalah kemiskinan dan kebencanaan demi memenuhi prasyarat pembentukan keserasian sosial (modal sosial) serta meningkatkan etos dan kualitas SDM bangsa ini.
Tanya: Jadi apa yang perlu diperhatikan?
Andi Hanindito:Yang perlu diperhatikan adalah, pertama,masalah kemiskinan. Kita tahu, masalah kemiskinan ditandai dengan kekurangan materi , kelangkaan barang dan jasa, serta gangguan kebtuhan dan disintegrasi sosial. Saat ini, akar kemiskinan sudah tidak memadai lagi dilihat dari sisi individual tetapi juga harus dilihat dari ketidakadilan struktural. Jika dikaitkan dengan kemiskinan yang tumbuh dan membiak sebagai akibat bencana alam dan bencana sosial.
Perlu kita ketahui bersama, di tanah air, angka kemiskinan mencapai ratusan juta orang. Untuk itulah pemerintah mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Program Keluarga Harapan dan berbagai program lainnya yang bertujuan memutus akar kemiskinan yang melilit puluhan juta anak bangsa ini. Kedua, masalah kebencanaan. Indonesia sebagai wilayah rawan bencana diperlukan manajemen kebencanaan berbasis masyarakat agar dampak bencana bencana yang terjadi dapat dieleminir dan tidak menambah daftar panjang persoalan sosial bagi yang mengalaminya.
Di sini diperlukan sinergi produktif antara elemen bangsa sebagai stake holder untuk membenahi manajemen kebencanaan dengan berbagai cara, antara lain penerapan konsep pelayanan satu atap dalam melaksanakan pelayanan sosial yang mencakup aspek teknis manajemen, aspek bencana sosial dan keserasian sosial serta korelasi di antara keduanya. Untuk itulah dikembangkan program Keserasian Sosial Berbasis Komunitas (KSBK) secara terencana dan berkesinambungan.
Tanya: Mencakup apa saja semua?
Andi Hanindito: Ada lima cakupan kehancuran sumberdaya komunitas bila tidak serius ditangani. Pertama, destruksi kapasitas manusia (komunitas). Berbagai peristiwa peristiwa bencana alam dan sosial menyebabkan komuitas lokal kehilangan “kapasitasnya selaku manusia dan selaku rakyat lokal”(human capacity dan capacity of the people). Kapasitas manusia/komunitas/rakyat(social capital) tersebut berupa kondisi sumberdaya kesehatan fisik dan mental /psikologis, pengetahuan dan keterampilan masyarakat serta keluarga dan kehidupan lokal dan sebagainya. Kedua, faktor ekologi sosial(social ecology).
Sebagai diketahui,dampak bencana selalu menimbulkan gangguan terhadap ekologi sosial dari komunitas; hubungan sosial antara keluarga; reintegrasi sosial dan hilangnya sumber -sumber dan basis ekonomi ; tantangan terhadap institusi agama dan budaya ; serta hubungan dengan otoritas sipil politik dan militer.
Ketiga , faktor peradaban (budaya dan nilasi). Peristiwa disaster mereduksi peradaban lokal (nilai dan budaya) dari komunitas/masyarakat, orientasi kemanusian berubah menjadi material, rasa peduli kekerasan /krisis, tantangan terhadap keadilan sosial dan hak asasi , perubahan nilai budaya, kepercayaan dan praktik. Keempat, faktor fisik dan tata ruang.
Peristiwa natural dan social disaster berakibat hancurnya kondisi fisik dan tata ruang wilayah dalam skala luas . Bisa dibayangkan andai seluruh infrastruktur wilayah hancur dalam skala luas ? Dimana batas-batas wilayah (desa, tanah keluarga, dsb) hilang. Bahkan wilayah desa hilang sama sekali (daratan dimasuki area laut), muncul persoalan hukum berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan kebutuhan untuk relokasi.
Pembangunan tata pemukiman dan perumahan tidak berbasis kultural dan spiritual lokal. Kelima, depresi dan trauma psikososial.Destruksi dari keempat faktor tersebut di atas (kapasitas manusia, ekologi sosial, nilai dan budaya serta fisik–tata ruang) sangat mempengaruhi kondisi psikososial komunitas.
Kondisi psikososial tidak dapat dilihat akan menjadi cepat atau lama dipulihkan dan disembuhkan tergantung apakah pendekatan elemen-elemen masyarakat dan elemen negara bekerja secara holistik atau parsial. Fungsi sosial elemen masyarakat dan elemen negara secara konsekuen berakar pada kekuatan spiritualitas serta kearifan budaya dan agama masyarakat secara kekuatan trauma healing process.
Tanya: Bila begitu betapa penting bantuan sosial bagi korban nencana sosial dikaitkan pada ketahanan sosial masyarakat?
Andi Hanindito: Ya, benar. Keserasian sosial akan berhasil sebagai basis ketahanan sosial andai kelima aspek kapasitas sumberdaya komunitas dikelola secara integral dan holistik. Depsos tidak akan melakukan intervensi dalam menangani bencana sosial, tetapi hanya mengarahkan, mengakomodasikan, mengakseskan setelah dirujuk kepada ahlinya, maka diharapkan masyarakat yang tertimpa bencana sosial dapat hidup wajar selama mengalami dan cepat pulih seperti sediakala.
Dengan cara itu maka konsep bencana dan keserasian sosial haruslah menjadi landasan untuk menguraikan paradigma keserasian sosial , yaitu: paradigma ini menggambarkan setidaknya alur strategik penanggulangan bencana yang meliputi: a)secara cepat, dan b)secara bertahap. Respons cepat bersifat emergensi dengan menekankan aspek proteksi sosial (social protection) dan secara bertahap bersifat proaktif ,sistematis dan berkelanjutan dengan menekankan aspek pemberdayaan dan kemandirian sosial (social empowerment) dari kerja keserasian sosial.
Direktur BSKBS Andi Hanindito menyadari, bahwa kapasitas masyarakat dalam menghadapi serta mengelola bencana sosial dan keserasian sosial secara proaktif dan mandiri merupakan basis ketahanan rakyat dan bangsa di tengah dinamika globalisasi dalam semangat ikatan sosial integrasi nasional masyarakat majemuk Indonesia.
Tujuan memperkuat modal sosial masyarakat sebagai kapasitas dalam mewujudkan keikatan (kohesitas), solidaritas, kesetiakawanan,kebersamaan, dan integrasi sosial dalam tatanan nasional bangsa yaitu meningkatnya kesadaran komunal tentang dampak bencana sosial dan pentinganya membangun kapasitas keserasian sosial sebagai basis ketahanan nasional bangsa. “Ini semua menjadi modal memenangkan persaingan global, “ tutup Andi Hanindito.
sumber: www.suaratokoh.com