Global Warming dan Global Disaster Management

By: M. Edy Sentosa Jk.


Akhir-akhir ini telah banyak terjadi bencana alam yang melanda di setiap negara baik bencana yang terjadi secara alamiah maupun akibat ulah manusia. Trend terjadinya bencana semakin meningkat diiringi dengan daya rusak yang begitu dahsyat yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia. Menurut laporan ISDR (International Strategy for Disaster Reduction), selama sepuluh tahun terakhir ini setidaknya 478.100 orang yang meninggal, dan lebih dari 2,5 miliar orang terkena dampak dari bencana alam yang terjadi. Dan sekitar US$ 690 miliar kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat bencana tersebut. Hal ini seperti yang tercermin dalam bencana tsunami di Aceh, Indonesia pada 2004 lalu, yang telah merenggut ribuan nyawa dan hancurnya tatanan kehidupan orang Aceh. Pada 2004 juga di Filipina terjadi bencana angin topan yang telah merenggut 1000 nyawa dan menghancurkan kehidupan rakyat Filipina. Yang terbaru adalah bencana yang terjadi di Myanmar telah menyebabkan hal yang serupa. Masih banyak lagi contoh kasus bencana yang terjadi pada dekade akhir ini yang telah membawa kehancuran bagi pembangunan dan kehidupan manusia, termasuk di AS ketika Badai Katrina menghujam kawasan Kalifornia dan di Jepang yang akhir-akhir ini sering terjadi hujan asam.

Bencana-bencana tersebut terjadi tak lepas dari eksploitasi lingkungan alam besar-besaran, seperti penebangan hutan secara liar dan penambangan yang liar maupun legal, ataupun perkembangan industrialisasi yang telah membuat polusi udara, air, dan tanah. Tak heran jika bencana banjir akibat hutan gundul sering terjadi, bencana longsor akibat rusaknya kepadatan tanah, perubahan iklim yang tak menentu, dan akhir-akhir ini yang banyak dibahas adalah global warming. Pada akhirnya, ini memicu timbulnya bencana yang tidak hanya berakibat pada dimensi kehidupan manusia namun juga lingkungan itu sendiri akan semakin rusak parah. Jika ini terjadi maka bencana akan terus terjadi, sehingga antara bencana dan kerusakan lingkungan akan terjalin suatu siklus yang tak putus. Tentunya, dimensi kehidupan manusia akan terancam. Oleh karena itu, interval antara bencana dan lingkungan adalah dimensi manusia yang harus berupaya untuk meminimalisir atau mencegah bencana dan kerusakan lingkungan terjadi.

Upaya tersebut tidak akan berhasil dan mencapai titik dimana bencana dan kerusakan lingkungan dapat dihindari dan dicegah, manakala tidak ada komitmen bersama untuk menaggulangi bencana dan kerusakan lingkungan tersebut. Untuk itu kolektif action sangat diperlukan dalam mengatasi masalah ini. Ini didasarkan bahwa kerusakan lingkungan atau bencana yang terjadi di suatu wilayah akan berdampak pada perubahan keseimbangan ekosistem maupun iklim atau cuaca dimana dampak perubahan tersebut dapat menyebar dan mempengaruhi keseimbangan alamiah wilayah lain. Hal ini sangat jelas jika dicontohkan masalah global warming yang kini menjadi isu bersama semua negara anggota UNFCCC yang berjumlah 191 negara (Tempo Interaktif, 14 November 2007). Karena pada hakikatnya kita hidup dan berada dalam satu atap dunia, layaknya analogi efek rumah kaca atau hukum arah angin. Jika demikian, maka upaya-upaya untuk meminimalisir dan menghindari bencana maupun kerusakan lingkungan harus mendapat perhatian lebih karena ini terkait dengan korelasi antara manusia dengan basis geografi yang ditempatinya sebagai tempat aktivitas mereka.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah manajemen bencana dan reduksi kerusakan lingkungan sebagai wujud preventif dalam mengamankan dimensi human security. Menutut NDYS Japan, setidaknya ada empat fase dalam manajemen bencana, yaitu mitigasi, kesiapan, respon, dan rekoveri/rekonstruksi. Dimana keempat fase tersebut harus terkoordinasi dengan baik sehingga bencana bukan lagi dihindari, karena kita tidak dapat menghindar dari adanya bencana alam, tetapi lebih pada menyiasatinya dengan manajemen yang baik sehingga tidak banyak timbul korban. Dua fase pertama merupakan fase sebelum terjadinya bencana, seperti pembuatan rumah tahan gempa merupakan bentuk dari mitigasi, sementara pembentukan team atau komunitas penyelamat bencana (rescue comunity) merupakan bentuk dari kesiapan. Sedangkan dua fase terakhir merupakan fase saat/sesudah bencana terjadi, seperti penyelamatan para korban merupakan bentuk dari respon, dan pembangunan dan perbaikan kembali lingkungan alam dan sosial merupakan bentuk rekoveri/rekonstruksi. Fase-fase tersbut setidaknya harus ada dalam sistem manajemen bencana. Dalam menangani bencana, fase-fase tersebut akan mudah dicapai apabila terdapat sinergi dan patnersip antara pemerintah–selaku pembuat kebijakan penanggulangan bencana–, kalangan swasta, dan LSM-LSM atau civil society sehingga pelaksanaan manajemen tersebut akan efektif dan efisien.

Upaya yang dilakukan dalam manajemen bencana pada dasarnya merupakan hak prerogative setiap negara dalam menangani bencana yang terjadi tanpa peduli pada bantuan negara lain, sepanjang negara tersebut mampu menangani masalah tersebut. Namun, pada kenyataannya setiap negara memerlukan negara lain untuk saling bahu-membahu dengan segera mengatasi bencana yang terjadi. Ini seperti yang ditunjukkan dengan kerjasama antara Jepang, Indonesia, Finlandia, dan Amerika Serikat dalam kerangka Global Disaster Management untuk saling betukar informasi dan pengetahuan yang update mengenai penanggulangan bencana alam atau kerusakan lingkungan. Melalui kerangka tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penanganan dan penanggulangan bencana alam secara dini serta membentuk sebuah kerangka manajemen bencana yang lebih komprehensif.

Menurut Srinivas, berdasarkan pengalaman research mengenai bencana, ada beberapa langkah yang dapat diambil sebagai bagian dari manajemen bencana, yaitu pertama, membangun kapasitas komunitas local sebagai bagian dari mitigasi dan preventif bencana. Melalui komunitas ini diharapkan dapat secara langsung tanggap terhadap bencana, baik sebelum dan sesudah bencana terjadi. Kedua, menciptakan partnership dan kerjasama yang melibatkan semua organisasi atau kelompok social dalam masyarakat, sehingga penanggulangan bencana dilakukan secara bersama sebagai bentuk social responsibility and solidarity. Penanggulangn bencana akan mudah ketika semua elemen masyarakat dilibatkan. Ketiga, saling bertukar informasi mengenai suatu bencana, sehingga pengalaman bencana yang dialami oleh suatu negara atau daerah, dapat memberikan masukan bagi penanggulangan bencana di negara atau daerah yang sedang terkena bencana. Dan terakhir adalah, mengembangkan basis dan kerangka pembelajaran dan pembuatan keputusan yang berguna bagi pemetaan suatu bencana, sehingga bencana dapat diprediksi dan disiasati dampak yang ditimbulkannya. Setidaknya langkah-langkah tersebut memberikan pemahaman mengenai upaya manajemen bencana, dan itu tergantung bagaimana setiap negara merespon dan menanggulangi bancana yang terjadi di wilayahnya.

Hal yang sangat komprehensif untuk menjelaskan mengenai global disaster management ini adalah terkait dengan isu global warming, dimana isu ini telah menciptakan rezim UNFCCC sebagai sebuah kerangka untuk mencegah atau menanggulangi dampak lingkungan akibat pemanasan global, seperti perubahan iklim dan cuaca yang tak menentu, efek rumah kaca, dan lain-lain. Isu global warming telah menjadi perhatian semua negara, kecuali AS, manakala tercapai sebuah kesepakatan dalam bentuk Protokol Kyoto untuk secara bersama-sama tanggap atas perubahan iklim yang semakin memanaskan suhu di bumi. Menjadi perhatian karena, efek pemanasan global tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua negara saja melainkan seluruh negara di dunia akan terkena imbasnya karena kita hidup dalam satu atap bumi.

Fenomena global warming effect tersebut telah nampak dengan ditandai oleh sering terjadinya siklus hujan yang tak menentu, badai yang kian kuat daya topannya, mencairnya es kutub utara dan selatan yang agresif, suhu panas bumi yang semakin meningkat (efek rumah kaca), meningkatnya suhu rata-rata Danau Baikal, Siberia, Rusia hingga 1,21 derajat Celcius sejak 1946 yang menyebabkan terancamnya keseimbangan ekosistem di dalamnya (Kompas, 1&3 Mei 2008). Sementara menurut Verena Puspawardhani, koordinator kampanye bidang iklim dan energi World Wild Fund (WWF) Indonesia, efek global warming telah juga dirasakan Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan fenomena perubahan musim dimana musim kemarau lebih panjang yang menyebabkan gagal panen, krisis air bersih, dan kebakaran hutan; hilangnya berbagai jenis flora dan fauna, ini ditunjukkan dengan sebanyak 90-95 persen karang mati di Kepulauan Seribu akibat naiknya suhu air laut; meningkatnya temperatur suhu dari tahun 1998 sampai sekarang; dan meningkatnya kasus malaria dan DB karena suhu tropis yang ekstrim. Bahkan, diprediksikan bahwa pada 2070 pasang laut akan telah menyebabkan sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan sebanyak 2.000 dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam (Gatra.com, 30 Juni 2007).

Oleh karena itu, pengembangan global disaster management sebagai kerangka mencegah global warming effect menjadi krusial sehingga kita bisa menyiasati dan menanggulangi secara cermat dan cerdas untuk terhindar dari kehancuran kehidupan manusia. Secara konkret, pengaturan manajemen bencana dalam isu global warming ini seperti yang tertuang dalam Bali Roadmap sebagai hasil dari pertemuan UNFCCC di Bali pada 3-14 Desember 2007 (Tempo Interaktif, 14 November 2007). Point-point penting dalam Roadmap tersebut adalah mitigasi, adaptasi, teknologi, dan financing (endonesia.com, 30 November 2007). Upaya mitigasi dilakukan dengan mekanisme negara maju diminta untuk memberikan insentif kepada negara berkembang sebagai upaya menurunkan laju deforestasi. Adaptasi, dilakukan dengan menurunkan emisi gas rumah kaca melalui sustainable development, baik di negara maju maupun di negara berkembang, sampai pada 25-40 persen dalam rangka mencapai level stabilisasi gas rumah kaca dunia (Tempo Interaktif, 16 Desember 2007). Ketentuan tersbut sesuai dengan Annex-I. Teknologi, dilakukan dengan mewajibkan negara industri untuk mengupayakan alih teknologi rendah emisi gas rumah kaca. Sementara, financing dapat dikatakan sebagai pemberian insentif pada negara berkembang yang memiliki kawasan lindung di atas 10 persen. Semua hal tersebut menunjukkan sebuah aksi bersama dalam mencegah dan menyiasati efek-efek global warming bagi masa depan kehidupan manusia. Dan hal tersebut pula dapat dijadikan sebuah langkah dalam global disaster management.

Dengan demikian, terdapat berbagai pemahaman mengenai global disaster management yang meliputi sebelum, saat, dan sesudah bencana terjadi dimana manajemen bencana tersebut sangatlah penting bagi pengamanan dimensi human security karena hal itu terkait erat dengan keberlangsungan kehidupan manusia di dunia dalam rangka mencapai tatanan sosio-politik dan sosio-ekonomi yang lebih damai, sejahtera, dan aman. Itulah inti bagaimana manusia menjalani takdirnya di muka bumi dan sebisa mungkin mereka berusaha menghindar dari bencana yang ada baik sekarang maupun masa depan. Dan itu memerlukan kerangka manajemen bencana baik sebagai early warning system maupun sebagai management system.

sumber: http://theglobalgenerations.blogspot.com