Gempa Besar Masih Hantui Sumatera

LIMA tahun lalu, dunia digemparkan dengan musibah tsunami terbesar dalam kurun waktu empat dekade terakhir. Wilayah Nangroe Aceh Darusalam dan beberapa negara di Samudera Hindia disapu gelombang dahsyat setinggi 30 meter, setelah diguncang gempa 9,3 Skala Richter pada 26 Desember 2004.

Seketika itu NAD langsung menjadi perhatian dunia. Betapa tidak, sekira 260.000 nyawa di delapan negara melayang disapu gelombang hingga meratakan hampir 30 persen daratan NAD.

Selain Aceh, dampak tsunami juga dirasakan di Sumatera Utara, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika.

Bencana ini merupakan kematian terbesar sepanjang sejarah. Indonesia, Sri Langka, Inda, dan Thailand merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar.

Musibah tsunami Aceh semakin menegaskan bahwa Indonesia berada di atas tanah labil yang rentan gempa, tsunami, dan gunung meletus. Selain tsunami Aceh, dunia juga pernah dikejutkan dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 1883. Lebih dari 30.000 orang tewas saat itu. Selain menghasilkan gelombang setinggi 40 meter, abu letusannya sempat mengelilingi dunia.

Di wilayah Sumatera, lempeng-lempeng tektonik bertemu di zona rapuh, di mana satu sama lain lempeng saling menekan. Akibatnya, lempeng Indo-Australia bergeser sekira 7 centimeter setiap tahunnya ke arah timur laut dan menekan lempeng Eurasia.

Kondisi ini menjadikan Sumatera sebagai daratan yang rentan diguncang gempa. Lempengan itu memanjang mulai dari Myanmar ke arah barat daya ke arah Selat Sunda hingga wilayah Timor.

Jika pergeseran lempeng terjadi, akan tercipta celah di dasar samudera di Sumatera. Ini adalah awal dari malapateka. Sebuah tsunami besar mengancam, seperti yang terjadi pada Desember 2004 lalu. Bahkan pengamat geologi memprediksikan akan ada gempa berkekuatan lebih dari 9 SR yang menerjang kepualauan Mentawai. Namun tak ada satu pun yang mampu memprediksikan kapan bencana itu terjadi.

Air yang dihasilkan saat tsunami Aceh dapat sampai ke Pelabuhan Sydney hanya dalam beberapa menit. Kebanyakan gempa dapat menghasilkan tsunami jika terjadi di kedalaman kurang dari 70 kilometer. Seperti yang tsunami yang terjadi di Aceh, di mana kedalaman gempa 30 kilometer.

Seperti diketahui, tsunami bukan gelombang tunggal. Namun serangkaian gelombang yang mampu melaju dengan kecepatan hingga 1.000 kilometer per jam. Wajar jika kerusakan yang ditimbulkannya sangat dahsyat. Kecepatan yang sama dengan pesawat jet.

Seringnya terjadi gempa dilautan Pasifik, juga dikombinasikan dengan daerah yang disebut Ring of Fire. Sebuah lingkaran api di mana ratusan gunung berapi terpancang, baik di daratan maupun di dalam laut. Taj heran jika setelah gempa besar, gelombang tsunami dengan mudah bisa menjangkau seluruh daerah di Pasifik kurang dari sehari.

Meski demikian, tsunami yang menerjang Aceh pada 2004 lalu, bukanlah yang paling besar. Pada 9 Juli 1958, Teluk Lituya, Alaska, juga disapu gelombang tsunami dengan ketinggian mencapai hampir 600 meter, meski jumlah korban tidak sebanyak di Aceh.

Sementara itu Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang dipecaya pemerintah untuk melakukan pemulihan infrastruktur di Aceh menyatakan, selama 3,5 tahun, pihaknya sudah membangun dan merehabilitasi 124.454 unit rumah, 3.005 kilometer jalan, 954 unit puskesmas, rumah sakit, dan poliklinik.

Selain itu ada 1.450 bangunan sekolah, 979 kantor pemerintah, 12 bandar udara, 20 unit pelabuhan laut, dan 103.273 hektar lahan pertanian yang juga direhabilitasi. Pemerintah mempercayakan hampir Rp8 triliun dana yang diperoleh dari berbagai pihak untuk digunakan BRR. Namun hingga masa tugasnya berakhir April 2009 lalu, masih tersisa dana Rp4 triliun.

sumber: Okezone.news