Indonesia merupakan daerah yang rawan dan berisiko tinggi terhadap bencana. Tidak sedikit bencana yang datang secara periodik, namun negara ini selalu tidak siap menghadapi bencana. Manajemen bencana masih belum diterapkan secara baik, sehingga masih banyak korban berjatuhan akibat bencana. Salah satu upaya dalam meminimalkan korban adalah menerapkan manajemen bencana (disaster management) dengan baik. Penerapan manajemen bencana ini tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat. Salah satu bagian dalam manajemen bencana adalah manajemen risiko bencana (disaster risk management).
Manajemen risiko merupakan upaya terencana dalam meminimalkan risiko bencana melalui tindakan perencanaan demi keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan tersebut dapat berupa perencanaan tata ruang daerah yang berbasis bencana, perencanaan penerapan sistem peringatan dini, menemukenali pengetahuan lokal (local knowledge), sosialisasi maupun pemberdayaan masyarakat. Melalui berbagai upaya tersebut, diharapkan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) dapat di maksimalkan.
Menurut WMO untuk melakukan manajemen risiko (risk management) perlu terlebih dahulu penilaian risiko (risk assessment). Risiko bencana dinilai berdasarkan tipe bahaya atau bencana yang akan terjadi, tingkat kerawanan sesuatu obyek terkena bencana (vulnerability), serta nilai risikonya. Penilaian risiko bergantung pada tipe bahaya atau bencana, tingkat kerawanan terkena bencana dan nilai risikonya.
Risiko (risk) bencana merupakan prakiraan kerugian atau kehilangan akibat suatu bencana terhadap elemen yang menghadapi risiko dimasa depan dalam suatu periode waktu tertentu (UNDP/UNDRO, 1992). Perhitungan risiko umumnya mempertimbangkan jenis dan besaran kehilangan atau kerugian. Parameter yang digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam besaran biaya ekonomi. Efek yang dianggap sebagai biaya ekonomi disebut kerugian tangible, sedangkan yang tidak dapat dikonversikan kedalam nilai uang disebut kerugian intangible (Sutikno, 2006).
Kebudayaan memiliki suatu sistem yang saling terkait satu sama lain. Sistem tersebut dapat dibagi menjadi sistem yang bersifat tangible (bisa dinilai dengan nilai materi) dan sistem yang bersifat intangible (tidak dapat dinilai dengan nilai materi). Valuasi risiko bencana terhadap peninggalan budaya tersebut menyesuaikan dengan nilainya. Untuk kerusakan sistem yang bersifat intangible akan cenderung lebih mahal dan susah untuk diinventaris daripada kerusakan sistem yang bersifat tangible (Haryono, 2006).
Kerugian tangible nilainya lebih kecil apabila dibandingkan dengan kerugian intangible karena kerugian intangible tidak dapat dihitung dalam nilai uang atau tidak terhitung harganya. Sebagai contoh adalah kerusakan benda warisan budaya. Benda warisan budaya mempunyai nilai kultur dan sejarah yang tinggi dan tidak dapat dikonversikan ke dalam nilai uang. Hal ini dikarenakan semua benda warisan budaya (cultural heritage) merupakan hasil pemikiran dan kegiatan manusia masa lalu dianggap bernilai tinggi, bahkan sering dinyatakan orang sebagai benda yang tidak ternilai harganya. Tapi manusia hanya cenderung berfikir ke arah perhitungan kerugian ekonomi saja, dan melupakan kerugian secara kultur dan sejarahnya.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dengan keanekaragaman suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki budaya yang berbeda-beda dengan keunikan yang berbeda-beda pula. Peninggalan budaya tersebut tidak hanya dalam bentuk adat istiadat tetapi juga dalam bentuk benda peninggalan budaya. Berbagai peninggalan budaya tersebut wajib dipertahankan. Benda-benda peninggalan budaya seperti candi ataupun tempat ibadah mempunyai tingkat keunikan dan budaya yang sangat tinggi. Selain tingkat keunikan dan budayanya, benda tersebut juga mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Nilai keunikan, budaya dan sejarah tersebut tidak ternilai harganya.
Namun, selain kaya akan budaya Indonesia juga kaya akan bencana. Karena kaya akan bencana maka benda-benda warisan budaya tersebut mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana. Sehingga benda-benda tersebut perlu dijaga keberadaannya terutama saat menghadapi bencana. Apabila benda peninggalan budaya tersebut hancur akibat bencana, maka akan mengurangi nilai sejarah dan kultur benda tersebut, bahkan kultur Indonesia.
Benda-benda warisan budaya banyak yang hancur akibat bencana. Sebagai contoh candi Prambanan dan Taman Sari yang rusak akibat bencana gempabumi 27 Mei 2006. Dan yang baru saja terjadi adalah terbakarnya istana Pagaruyung di Batusangkar, Sumatera Barat. Berbagai warisan budaya tersebut mengalami kerusakan yang berat. Pada Gugusan Candi Prambanan mengalami kerusakan berat yaitu: kerusakan struktural (miring, runtuh, deformasi vertikal, deformasi horisontal, retak); dan kerusakan material (retak, patah, pecah dan mengelupas) (Mundardjito, 2006).
Rusaknya bangunan tersebut, secara langsung berdampak pada kegiatan pariwisata dan ekonomi masyarakat sekitar, namun secara tidak langsung kerusakan tersebut akan berpengaruh terhadap nilai kultur dan sejarah masa lalu. Kegiatan akademis juga akan terganggu terutama untuk penelitian baik saat ini maupun yang akan datang. Kerusakan tersebut memang dapat diperbaiki dengan melakukan pemugaran, tetapi nilai sejarah dan kulturnya tentu akan berkurang karena pemugaran tersebut sudah menjadi pemikiran masa kini bukan masa lalu lagi. Berkurangnya nilai sejarah tersebut merupakan kerugian yang bersifat intangible.
Benda-benda peninggalan budaya di Indonesia mempunyai tingkat risiko yang tinggi terhadap bencana. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan daerah rawan bencana dan banyak ditemui benda-benda peninggalan budaya. Banyaknya benda-benda tersebut maka akan menyebabkan tingginya risiko bencana terhadap warisan budaya. Kerusakan benda warisan budaya baik yang disebabkan oleh bencana maupun yang tidak, harus menjadi perhatian dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, masyarakat dan akademisi. Karena ketiga pihak tersebut yang mempunyai peran penting dalam menjaga keutuhan peninggalan budaya.
Pengurangan Risiko
Upaya mengurangi risiko bencana pada benda peninggalan budaya adalah dengan menerapakan managemen bencana yang baik yaitu dengan melibatkan pemerintah, masyarakat dan akademisi. Managemen bencana dapat diawali dengan melakukan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan ini adalah dengan memperhatikan kondisi lingkungan di sekitar benda-benda peninggalan budaya berdasarkan kerawanan bencananya. Pengkajian kerawanan bencana pada daerah yang terdapat benda peninggalan budaya perlu dilakukan. Sehingga apabila akan dilakukan pemugaran diharapak untuk memperhatikan kemungkinan bencana yang akan melanda.
Pemugaran candi pada daerah rawan bencana gempabumi misalnya, pemugaran tersebut membutuhkan waktu yang lama dan memakan biaya yang cukup mahal. Upaya pemugaran ini harus dibuat dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya bencana pada daerah tersebut. Apabila daerah tersebut merupakan rawan bencana gempabumi, maka dalam melakukan pemugaran harus dibuat candi yang tahan terhadap gempabumi dengan memberi perekat antar batu/batubata yang kuat. Begitu juga dengan kemungkinan terjadinya bencana yang lain, upaya mitigasi harus dilakukan. Selain pengamatan pada kondisi lingkungan, pembuatan miniatur bangunan peninggalan budaya tersebut juga perlu dilakukan sebagai upaya mencegah hilangnya nilai arkeologis dan keunikan candi atau benda peninggalan budaya yang lain.
Pemerintah dalam hal ini sebagai pihak pengelola benda peninggalan budaya, harus melakukan inventarisasi benda peninggalan budaya, beserta nilai arkeologisnya yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan catatan masa lalu yang terkait dengan bencana yang telah merusak bangunan tersebut. Inventarisasi ini berfungsi untuk menjaga nilai sejarah dan budayanya. Selain itu berfungsi juga untuk penelitian atau akademis sekarang maupun yang akan datang. Penyelamatan terhadap manusia penting namun upaya konservasi terhadap warisan budaya juga tidak kalah penting, karena hal tersebut juga terkait dengan masalah ekonomi masyarakat sekitar dan pendidikan atau penelitian yang akan datang.
*) Penulis adalah Staf Divisi Pelatihan dan Pengembangan SDM di Pusat Studi Bencana, Universitas Gadjah Mada
sumber:http://pdr.blogsome.com
Manajemen risiko merupakan upaya terencana dalam meminimalkan risiko bencana melalui tindakan perencanaan demi keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan tersebut dapat berupa perencanaan tata ruang daerah yang berbasis bencana, perencanaan penerapan sistem peringatan dini, menemukenali pengetahuan lokal (local knowledge), sosialisasi maupun pemberdayaan masyarakat. Melalui berbagai upaya tersebut, diharapkan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) dapat di maksimalkan.
Menurut WMO untuk melakukan manajemen risiko (risk management) perlu terlebih dahulu penilaian risiko (risk assessment). Risiko bencana dinilai berdasarkan tipe bahaya atau bencana yang akan terjadi, tingkat kerawanan sesuatu obyek terkena bencana (vulnerability), serta nilai risikonya. Penilaian risiko bergantung pada tipe bahaya atau bencana, tingkat kerawanan terkena bencana dan nilai risikonya.
Risiko (risk) bencana merupakan prakiraan kerugian atau kehilangan akibat suatu bencana terhadap elemen yang menghadapi risiko dimasa depan dalam suatu periode waktu tertentu (UNDP/UNDRO, 1992). Perhitungan risiko umumnya mempertimbangkan jenis dan besaran kehilangan atau kerugian. Parameter yang digunakan adalah biaya ekonomi, karena semua tipe kerugian dapat dikonversikan ke dalam besaran biaya ekonomi. Efek yang dianggap sebagai biaya ekonomi disebut kerugian tangible, sedangkan yang tidak dapat dikonversikan kedalam nilai uang disebut kerugian intangible (Sutikno, 2006).
Kebudayaan memiliki suatu sistem yang saling terkait satu sama lain. Sistem tersebut dapat dibagi menjadi sistem yang bersifat tangible (bisa dinilai dengan nilai materi) dan sistem yang bersifat intangible (tidak dapat dinilai dengan nilai materi). Valuasi risiko bencana terhadap peninggalan budaya tersebut menyesuaikan dengan nilainya. Untuk kerusakan sistem yang bersifat intangible akan cenderung lebih mahal dan susah untuk diinventaris daripada kerusakan sistem yang bersifat tangible (Haryono, 2006).
Kerugian tangible nilainya lebih kecil apabila dibandingkan dengan kerugian intangible karena kerugian intangible tidak dapat dihitung dalam nilai uang atau tidak terhitung harganya. Sebagai contoh adalah kerusakan benda warisan budaya. Benda warisan budaya mempunyai nilai kultur dan sejarah yang tinggi dan tidak dapat dikonversikan ke dalam nilai uang. Hal ini dikarenakan semua benda warisan budaya (cultural heritage) merupakan hasil pemikiran dan kegiatan manusia masa lalu dianggap bernilai tinggi, bahkan sering dinyatakan orang sebagai benda yang tidak ternilai harganya. Tapi manusia hanya cenderung berfikir ke arah perhitungan kerugian ekonomi saja, dan melupakan kerugian secara kultur dan sejarahnya.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dengan keanekaragaman suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki budaya yang berbeda-beda dengan keunikan yang berbeda-beda pula. Peninggalan budaya tersebut tidak hanya dalam bentuk adat istiadat tetapi juga dalam bentuk benda peninggalan budaya. Berbagai peninggalan budaya tersebut wajib dipertahankan. Benda-benda peninggalan budaya seperti candi ataupun tempat ibadah mempunyai tingkat keunikan dan budaya yang sangat tinggi. Selain tingkat keunikan dan budayanya, benda tersebut juga mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Nilai keunikan, budaya dan sejarah tersebut tidak ternilai harganya.
Namun, selain kaya akan budaya Indonesia juga kaya akan bencana. Karena kaya akan bencana maka benda-benda warisan budaya tersebut mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana. Sehingga benda-benda tersebut perlu dijaga keberadaannya terutama saat menghadapi bencana. Apabila benda peninggalan budaya tersebut hancur akibat bencana, maka akan mengurangi nilai sejarah dan kultur benda tersebut, bahkan kultur Indonesia.
Benda-benda warisan budaya banyak yang hancur akibat bencana. Sebagai contoh candi Prambanan dan Taman Sari yang rusak akibat bencana gempabumi 27 Mei 2006. Dan yang baru saja terjadi adalah terbakarnya istana Pagaruyung di Batusangkar, Sumatera Barat. Berbagai warisan budaya tersebut mengalami kerusakan yang berat. Pada Gugusan Candi Prambanan mengalami kerusakan berat yaitu: kerusakan struktural (miring, runtuh, deformasi vertikal, deformasi horisontal, retak); dan kerusakan material (retak, patah, pecah dan mengelupas) (Mundardjito, 2006).
Rusaknya bangunan tersebut, secara langsung berdampak pada kegiatan pariwisata dan ekonomi masyarakat sekitar, namun secara tidak langsung kerusakan tersebut akan berpengaruh terhadap nilai kultur dan sejarah masa lalu. Kegiatan akademis juga akan terganggu terutama untuk penelitian baik saat ini maupun yang akan datang. Kerusakan tersebut memang dapat diperbaiki dengan melakukan pemugaran, tetapi nilai sejarah dan kulturnya tentu akan berkurang karena pemugaran tersebut sudah menjadi pemikiran masa kini bukan masa lalu lagi. Berkurangnya nilai sejarah tersebut merupakan kerugian yang bersifat intangible.
Benda-benda peninggalan budaya di Indonesia mempunyai tingkat risiko yang tinggi terhadap bencana. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan daerah rawan bencana dan banyak ditemui benda-benda peninggalan budaya. Banyaknya benda-benda tersebut maka akan menyebabkan tingginya risiko bencana terhadap warisan budaya. Kerusakan benda warisan budaya baik yang disebabkan oleh bencana maupun yang tidak, harus menjadi perhatian dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, masyarakat dan akademisi. Karena ketiga pihak tersebut yang mempunyai peran penting dalam menjaga keutuhan peninggalan budaya.
Pengurangan Risiko
Upaya mengurangi risiko bencana pada benda peninggalan budaya adalah dengan menerapakan managemen bencana yang baik yaitu dengan melibatkan pemerintah, masyarakat dan akademisi. Managemen bencana dapat diawali dengan melakukan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan ini adalah dengan memperhatikan kondisi lingkungan di sekitar benda-benda peninggalan budaya berdasarkan kerawanan bencananya. Pengkajian kerawanan bencana pada daerah yang terdapat benda peninggalan budaya perlu dilakukan. Sehingga apabila akan dilakukan pemugaran diharapak untuk memperhatikan kemungkinan bencana yang akan melanda.
Pemugaran candi pada daerah rawan bencana gempabumi misalnya, pemugaran tersebut membutuhkan waktu yang lama dan memakan biaya yang cukup mahal. Upaya pemugaran ini harus dibuat dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya bencana pada daerah tersebut. Apabila daerah tersebut merupakan rawan bencana gempabumi, maka dalam melakukan pemugaran harus dibuat candi yang tahan terhadap gempabumi dengan memberi perekat antar batu/batubata yang kuat. Begitu juga dengan kemungkinan terjadinya bencana yang lain, upaya mitigasi harus dilakukan. Selain pengamatan pada kondisi lingkungan, pembuatan miniatur bangunan peninggalan budaya tersebut juga perlu dilakukan sebagai upaya mencegah hilangnya nilai arkeologis dan keunikan candi atau benda peninggalan budaya yang lain.
Pemerintah dalam hal ini sebagai pihak pengelola benda peninggalan budaya, harus melakukan inventarisasi benda peninggalan budaya, beserta nilai arkeologisnya yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan catatan masa lalu yang terkait dengan bencana yang telah merusak bangunan tersebut. Inventarisasi ini berfungsi untuk menjaga nilai sejarah dan budayanya. Selain itu berfungsi juga untuk penelitian atau akademis sekarang maupun yang akan datang. Penyelamatan terhadap manusia penting namun upaya konservasi terhadap warisan budaya juga tidak kalah penting, karena hal tersebut juga terkait dengan masalah ekonomi masyarakat sekitar dan pendidikan atau penelitian yang akan datang.
*) Penulis adalah Staf Divisi Pelatihan dan Pengembangan SDM di Pusat Studi Bencana, Universitas Gadjah Mada
sumber:http://pdr.blogsome.com